Minggu, 18 Oktober 2009

Pendahuluan


Upacara Adat Pengantaran Mas Kawin (gading gajah)
      Suatu saat, di tahun 1544, pelaut Portugis bernama S. M. Cabot melakukan pelayaran di perairan Nusantara. Di ujung sebuah pulau, Cabot begitu terpesona dengan keindahan cendawan karang raksasa, Flores. Cabot, tak pelak memeterainya dengan nama Cabo de Flores, dan hanya wilayah inilah yang kemudian tetap menggunakan kata Flores dalam memeteraikan kabupaten Flores Timur sebagai salah satu dari enam kabupaten yang ada di pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur.
       Kabupaten Flores Timur mencakup Flores Timur daratan (bagian paling Timur pulau Flores), pulau Solor dan pulau Adonara. Realita ini menjadikannya sebagai sebuah kabupaten kepulauan, sehingga sering dilukiskan sebagai “miniature Nusa Tenggara Timur”. Dengan karakter geografis demikian, kabupaten Flores Timur mengandung sumber daya alam yang begitu beragam berupa tapak-tapak kepurbakalaan, kesejarahan, kebudayaan, flora dan fauna yang unik-spesifik serta kebaharian yang amat potensial.
        Potret jati diri masyarakat Lamaholot (kesatuan adat budaya Lamaholot: yang berbahasa Lamaholot) yang khas dan spesifik itu misalnya prosesi Jumad Agung warisan Portugis di Larantuka, harta kepubakalaan berupa situs “Nopin Jaga” di Tanjung Bunga, harta kesejarahan berupa titisan kerajaan Larantuka atau kerajaan Lamahala, rona budaya seperti rumah adat, perkampungan tradisional dengan berbagai situs tradisional yang digelar secara terpadu : seni, tari dan tenun, serta di pelataran pulau Solor dan Lewotoby yang masih membersitkan harumnya kayu cendana dan gaharu di masa silam. Semuanya merupakan jati diri dan lensa bumi air Flores Timur, sekaligus sebagai bagian integral dari sebuah bangsa yang besar : Bangsa Indonesia ( Michael Beding dan Lestari Beding, 1998 ).
     Untuk selanjutnya tulisan ini lebih berfokus pada masalah kebudayaan dengan titik beratnya pada eksistensi gading gajah dalam sistem perkawinan masyarakat Larantuka Flores Timur.
        Perkawinan adat adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Flores Timur. Ilmu Antropologi mencatat bahwa hampir semua adat masyarakat memetakan hidup seorang individu ke dalam tingkat-tingkat tertentu atau stages along the life cycle; misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dan kematian. Peralihan hidup seorang individu dari satu stage ke stage  berikutnya selalu disertai upacara ritual tertentu. Hal ini karena ada anggapan bahwa saat peralihan dari satu tingkat ke tingkat hidup berikutnya, atau dari suatu lingkungan sosial ke lingkungan sosial lain itu merupakan saat yang gawat atau penuh bahaya, nyata maupun gaib. Untuk menolak bahaya gaib yang mengancam hidup individu serta lingkungannya, maka diadakan upacara waktu krisis, yang dalam ilmu Antropologi disebut sebagai crisis-rites, atau upacara peralihan ( rites de passage ). Upacara-upacara itu juga mempunyai fungsi sosial yakni menyatakan kepada khalayak ramai tingkat hidup baru yang dicapai indiviidu bersangkutan. Gejala ini bersifat universal karena hampir terdapat di semua kebudayaan manusia. Dari semua upacara ritual dalam kehidupan manusia itu, perkawinan merupakan tingkatan terpenting dalam putaran hidup semua manusia di seluruh dunia ( dari tingkatan remaja ke hidup berkeluarga ) ( Koentjaraningrat 1992 : 92-93 ).
        Van Vollenhoeven ( seperti yang dikutip oleh Bakker 1984 ) menunjukkan bahwa Indonesia terdiri dari 19 wilayah hukum adat. Flores Timur merupakan satu dari ke-19 wilayah hukum adat itu. Sementara itu, di Flores sendiri masih terdiri dari sub-sub suku bangsa yang memiliki keanekaragaman kebudayaan dan bahasa, yakni 1) orang Manggarai, 2) orang Riung, 3) orang Ngada, 4) orang Naga Keo, 5) orang Ende, 6) orang Lio, 7) orang Sikka, dan 8) orang Larantuka ( Koentjaraningrat 1999 : 190 ). Karena berdiri sebagai satu wilayah hukum adat maka masyarakat Flores mempunyai aturan perkawinan tersendiri. Umumnya, masyarakat Nusa Bunga ( Flores ) dan Flores Timur khususnya mengenal system perkawinan eksogami clan dengan pola patrilineal. Perkawinan dihayati tidak sekedar ikatan laki-laki dan wanita tapi perkawinan antara dua clan menjadi satu keluarga. Artinya bahwa, perkawinan perkawinan antara laki-laki dan wanita menjadi medium yang mempersatukan segenap anggota clan menjadi satu keluarga. Perkawinan menjadi suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan wanita tetapi juga mengikat –dalam suatu hubungan- kaum kerabat dari si laki-laki dan si wanita. Hal ini membawa implikasi bahwa jika laki-laki clan A mengawini wanita dari clan B maka tertutup kemungkinan bagi anggota keluarga A dan B yang lainnya untuk saling kawin ataupun dikawini karena mereka telah menjadi satu keluarga. Dalam hal ini, pemuda dari clan B harus mencari anak gadis dari clan C sebagai calon mempelainya. Oleh karena itu maka, masyarakat Flores Timur – Larantuka mengenal system perkawinan tiga tungku ( lika telo ): tiap-tiap clan serentak duduk sebagai Pemberi dan Pengambil anak dara: Conubium ( Ficher 1980 : 94 ).
    Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa peralihan hidup seseorang dari satu tingkat ke tingkat berikutnya senantiasa disertai upara ritual tertentu, demikian pula perkawinan dalam kehidupan masyarakat Lamaholot senantiasa disertai upacara ritual yang tidak kecil sekaligus merupakan tingkatan terpenting dalam kehidupan masyarakat. Untuk membicarakan sebuah upacara ritual perkawinan, hal yang paling rumit dan interesant adalah gading sebagai belis ( mas kawin ) yang deserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita. Gading sebagai mas kawin dalam hal ini menjadi hak yang diterima oleh pihak keluarga wanita sekaligus adalah kewajiban pihak lelaki. Suatu perkawinan bahkan dinilai aib apabila tanpa ( bala ). Dari sini dapat diketahui bahwa betapa pentingnya gading sebagai syarat demi terjadinya perkawinan dalam budaya masyarakat Flores Timur umumnya dan Lewotoby khususnya. 
         Waktu berubah dan pola pikir manusiapun turut berubah di dalamnya. Seirama dengan perubahan pola pikir manusia itu, kebudayaanpun turut mengalami perubahan kerena keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang yang lainnya. Kehidupan manusia dalam budayanya adalah suatu hal yang rumit dan kompleks. Di satu pihak manusia imanen di dalam dirinya, artinya bahwa manusia hidup dan tumbuh dalam suatu lingkungan budaya yang melingkupinya. Ia berperilaku dan bersikap berdasarkan ikatan norma dan asas yang berlaku dalam budayanya. Sedangkan di lain sisi, dalam batas tertentu serta dalam perjalanan kedewasaannya, manusia mampu mengekspresikan kemanusiaannya dengan berkreasi dalam bentuk norma ataupun asas-asas baru, mengubah dan memperbaiki tatanan yang telah ada.
      Pernyataan di atas mengandung pengertian bahwa kehidupan manusaia yang berbudaya itu menuntunnya untuk tunduk dan patuh pada peraturan yang berlaku, sekaligus menuntutnya untuk menciptakan, mengubah atau memperbaikinya ( transformasi ) ( Mardimin 1994 : 13 ). Menangkap gejala itu, Louis Leahy dengan bahasa yang berbeda mengatakan bahwa manusia secara biologis belum rampung. Manusia tidak pernah dewasa ( sempurna ) karena eksistensinya merupakan sebuah proses pencapaian dan proses belajar tanpa akhir.
    Sejalan dengan ide yang ada, Jakob Sumardjo ( 2002 : ix ) mengatakan bahwa semua manusia menempati suatu ruang social, waktu dan temapt tertentu, dan dari sini ia memperoleh pengetahuan tentang apa yang berharga dan tidak berharga dalam hidupnya. Lebih lanjut, -masih menurut Jakob- berdasarkan pengetahuan yang diperoleh itu dan bersama manusia lainnya ia menghidupi tatanan yang ada dalam ruang sosial, waktu dan tempat itu, sekaligus mengubah dan menolaknya karena kodratnya yang memiliki potensi-potensi kejiwaan ( rasio, perasaan, hasrat dan kerohanian intuitif yang bebas ).
        Pola pikir masyarakat Larantuka tidak luput dari dua kenyataan di atas. Di satu pihak mereka tunduk dan menghidupi adat kebiasaan yang mengatur hidup mereka. Tetapi tidak bisa diingkari bahwa pada kenyataan lain, mereka dinamis dalam kaitan dengan usaha transformasi adat kebudayaan yang memanage pola tingkah laku mereka. Mas kawin dalam budaya perkawinana adat masyarakat ujung timur pulau Bunga ( Flores Timur ) tidak luput dari arus perubahan karena pola pikir manusia pendukungnya berubah dalam waktu yang berubah.
        Berdasarkan latar belakang di atas maka kami mengangkatnya dala tulisan ini dengan judul Eksistensi Gading Gajah sebagai Mas Kawin dalam Sistem Perkawinan Masyarakat Larantuka Flores Timur.


selanjutnya baca : Teori

Tidak ada komentar:

Posting Komentar