Senin, 16 November 2009

PERKAWINAN ADAT DALAM MASYARAKAT LEWOTOBY

Tarian dolo-dolo: Memeriahkan acara malam Pengantin
1. Bentuk-Bentuk Perkawinan

Secara umum, bentuk-bentuk perkawinan itu disesuaikan dengan system perkawinan yang Patrilineal, matrilineal, atau campuran keduanya. Bentuk-bentuk perkawinanan itu adalah :
a. Perkawinan dengan pemberian mas kawin. 
Bentuk perkawinan ini dilakukan dengan pemberian mas kawin, dan pada umumnya berlaku dalam kalangan masyarakat yang mempertahankan garis keturunan ayah.Pemeberian mas kawin merupakan tanda pelepasan memepelai wanita untuk masuk dalam kelompok atau persekutuan suami. Perkawinan dengan pemberian mas kawin tampak dalam masyarakat Gayo, Nias, Lampung, Timor, Maluku dan Flores (Withyn: 15).
b. Perkawinan dengan tanpa Pemberian Mas Kawin. 
Bentuk perkawinan ini umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang menganut system matrilineal. Dalam perkawinan ini, calon mempelai pria dan keluarganya tidak memberi mas kawin kepada calon mempelai wanita, tetapi ia masuk dan bersekutu di dalam anggota keluarga wanita. Dalam hal ini, hak dan kedudukan laki-laki berada dibawah pengaruh wanita dan ia tidak bertanggungjawab secara penuh di dalam rumah tangga. Di Minangkabau misalnya, suami berada di bawah kerabat isteri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda yang berlaku baik dalam perkawinan semanda raja-raja (suami -isteri berkedudukan sama atau seimbang) maupun dalam semanda lepas (suami mengikuti tempat kediaman isteri) (Within :15-17).
c. Perkawinan Bebas (mandiri). 
Pada umumnya bentuk perkawinan ini berlaku di lingkungan masyarakat yang bersifat parental, seperti di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, dan Melayu. Dalam bentuk perkawinan ini suami dan isteri mempunyai status dan kedudukan yang sederajat dalam rumah tangga (Withyin: 19).
d. Perkawinan Campuran.
Perkawinan campuran terjadi di antara laki-laki dan wanita yang memiliki perbedaan dalam hal agama atau suku (Withyin : 19).
2. Sistem perkawinan Menurut Adat Lewotoby.

Sistem perkawinan yang berlaku dalam masyarakat Lewotoby adalah patrilineal dengan bentuk perkawinan exogami clan. Sistem ini merupakan kesepakatan tak tertulis namun bersifat mengharuskan segenap anggota masyaraakatnya.Tidak dibenarkan adanya perkawinan yang terjadi dalam clan sendiri. Clan pemberi anak gadis (Ina ama) dipandang sebagai suku pengasal karena itu sudah semestinya mereka dihormati dalam urusan perkawinan secara adat. Dalam lingkungan yang sangat kuat didominasi oleh adat kesukuan seperti yang terjadi dalam masyarakat Lewotoby, perkawinan dipandang sebagai satu lembaga yang diatur menurut tata aturan adat. Bentuk perkawinan semacam ini hanya bertujuan meningkatkan angka natalitas demi menjamin kelestarian dan jumlah anggota clan bersangkutan.

Dengan pola perkawinan eksogami clan ini, apabila clan Mukin meminang anak gadis dari clan Muda, maka clan Muda dianggap sebagai suku pengasal (ina ama), sedangkan clan Mukin adalah ana Opu (pengambil anak gadis). Dengan system yang demikian maka secara langsung mengikat kedua clan bersangkutan menjadi satu keluarga, sekaligus tertutup kemungkinan bagi clan Muda untuk kembali mengambil anak gadis dari clan Mukin sebagai isterinya. Mereka harus mengambil anak gadis dari clan Temu (ataupun clan lain yang puken muren: sah menurut hukum adat) sebagai mempelainnya. Dengan demikian terbentuklah sebuah lingkaran tiga yang dalam bahasa setempat diistilahkan dengan lika telo (tiga tungku).

3. Proses Perkawinan Masyarakat Lewotoby.

Ritual perkawinan adat dalam masyarakat Lewotoby melewati suatu proses yang tidak pendek, sekaligus mencerminkan aspek sosialitas masyarakatnya. Proses itu sebagai berikut:
  • Gete Kewae (proses peminangan). Gete kewae dalam bahasa setempat berarti menanyakan atau mencari apakah ada anak gadis dalam clan bersangkutan. Hal ini dilatarbelakangi oleh ketatnya adat saat itu yang mengatur agar pemuda tidak boleh bermain ataupun bertandang sendiri ke rumah anak gadis. Untuk itu saudari/paman dari si pemuda yang pergi dari rumah ke rumah untuk mencari mempelai bagi sang lelaki itu. Jika ada, maka akan diadakan peminangan.Berdasarkan penelitian antropolog, istilah meminang itu berasal dari kata sirih dan pinang yang bernuansa kolektif. Proses peminangan dalam adat Lewotoby diawali dengan kehadiran utusan keluarga pria, ditandai dengan suguhan sirih pinang, tembakau dan tuak. Sambil menikmati suguhan dan dalam nada kekeluargaan, mulai diadakan pembicaraan adat seperti berikut:
“Kame ata murin baleban, kame sega nene neren ia ata opu lake,pia ata ina ama.Kame moi mioo noon muda pao,kame nene neren,bisa kah take keme geba pat,bara bain.” (kami orang asing yang datang meminta kerelaan pada orang tua, karena kami tahu bahwa kamu mempunyai seseorang gadis. Bolehkah kami melamar untuk anak kami).
Kalau diterima maka akan terjawab seperti berikut:
“Muda pao piin kame siram bori, hogo hulen lera buan, neku muda pao piin noon alaken ajen. Tedan toran, kame tutu marin ala opu-ala opu naen. Kia ge tite herun balik muri.”
Hal ini berarti bahwa memang anak gadis itu dijaga dan dibesarkan oleh orang tua, tetapi dia bukan milik kedua orang tua bersangkutan, tetapi milik pamannya. Jadi, diminta untuk bersabar, setelah pihak orang tua menyampaikannya pada kepada sang paman baru mereka bertemu lagi. Hal ini berkaitan erat dengan bala adalah hak milik paman. Secara adat, hubungan itu disetujui, dan sebagai kelanjutannya diadakan acara biho behin (jamuan).
  • Pertemuan Orang tua kedua pihak.
Pada proses ini, orang tua kedua belah pihak serta keluarga terdekat berkumpul dirumah wanita untuk membicarakan kedua anak mereka. Dalam tradisi setempat, kebiasaan ini disebut dengan roi lango, maksudnya orang tua mempelai pria mengetahui rumah dari si gadis sekaligus melakukkan pembicaraan dengan kedua orang tuanya.
  • Menghantar barang-barang bukti peminangan (gade).
Sebagai bukti bahwa lamaran itu diterima maka keluarga pihak lelaki menyerahkan sejumlah barang pinangan berupa kiri blino (sisir dan cermin), disamping sejumlah materi lainnya seperti hewan, tuak dan makanan untuk acara makan bersama setelah tahap peminangan itu.
Melewati tahap ini berarti telah tertutup kemungkinan bagi sang gadis untuk dilamar oleh lelaki yang lain, dan pola pergaulanpun sudah diperketat untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan .
  • Pemberitahuan tentang peminangan.
Dalam proses ini masing-masingkeluarga mulai memberitahukan kepada seluruh kerabat serta kenalan mengenai tunangan kedua anak mereka. Yang mendapat prioritas utama dalam tahap ini adalah opu lake (paman dari masing-masing mempelai), kepala suku dan beberapa tua adat dengan tujuan meminta restu demi memasuki tahap selanjutnya yakni goda geto (pembicaraan adat).
  • Pembicaraan adat (koda geto) dan tukar cincin (loge kila).
Dalam tahap ini jumlah keluarga yang hadir lebih besar dibandingkan dengan proses sebelumnya yang hanya melibatkan keluarga terdekat. Pada proses ini, dilakukan pembicaraan adat untuk menetapkan belis (mas kawin). Proses koda geto dimulai dengan pertanyaan ketua adat dengan melontarkan pertanyaan, “Meja tee lein milan ato bersih?” Meja kotor (lein bola : meja berkaki patah) mengandung makna bahwa si gadis itu sudah hamil sebelum sah menurut adat, sebaliknya meja bersih berarti si gadis belum hamil. Pihak ina ama (opu lake: paman si gadis) biasanya meminta belis yang amat besar berupa bala dengan ukuran dan jumlah yang tidak sedikit atau uang dalam jutaan kalau pada saat itu pertemuan adat yang diselenggarakan adalah meja lein bola (meja kotor). Sebaliknya, paman hanya meminta sedikit belis atau bahkan hanya meminta untuk gelekat (mengabdi) kalau tidak adanya keteledoran (meja bersih). Sesudah seleasai pembicaraan adat, belake kedua pihak berjabat tangan tanda restu (koda geto), dilanjutkan dengan suguhan sirih-pinang, disusul dengan tukar cincin (gelu kila). Paman si gadis mengenakan cincin pada lelaki dan sebaliknya, dengan diiringi kata-kata: weti kila welin nuli, loge ata jedo bare (cincin ini sangat bernilai sebagai pengikat untuk selamanya). Pada kesempatan ini juga ditetapkan hari pernikahan setelah dikonsultasikan dengan pastor setempat.
  •  Perkawinan sekaligus menghantar tupa manu (ketupat- ayam).
Acara ini didahului dengan tula kebia, yakni pertemuan untuk membagi sirih pinang dan tembakau kepada seluruh keluarga dan kenalan, sekaligus sebagai tanda undangan secara adat untuk menghadiri acara pernikahan nantinya. Pada malam hari sebelum perkawinan, pihak pria menghanter tupa manu (ketupat dan ayam) untuk paman dan saudara-saudara si gadis, demikian pula pihak gadis menyiapkan nasi dan ikan untuk menyambut kedatangan ana opu (pihak keluarga pria).

Upacara perkawinan akhirnya direstui secara gerejani oleh pastor, lalu dilanjutkan dengan acara makan tupa manu dan nasi ikan. Menurut adat masyarakatnya, acara santapan adat dalam proses ini harus diteliti dan tidak boleh ada kesalahan, karena akan berakibat buruk dikemudian hari.
  •  Malam pengantin (dokang).
Pada malam hari terjadi acara sukaria bersama undangan yang hadir. Pada jam dua belas malam, terjadi ritual dokang (menghantar pengantin baru untuk masuk dalam kamar istirahat). Pada tahap ini, pengantin wanita yang terlebih dahulu masuk dalam kamar diiringi kaum keluarganya, disusul oleh pengantin pria dengan didahului ketukan tiga kali dan terjadi tanyajawab seperti berikut ini:
Tanya: mio a lewon? (orang dari mana)
Jawab: go suku…go krian gwali gele, ku go seba kwae goe mele. Eka ne na pi ta? Lango tee ku eke amu (saya kerabat…saya pulang dari kerja, sedang cari istriku. Jangan sampai dia disini, soalnya ruma disini tapi tidak ada orangnya).
Tanya: Kame ia sepu plita turu ke kae. Moe mari naren moe kia. (kami disini suda tidur, lampu disini sudah padam. Sebut dulu namamu)
Jawab: naren goe… (nama saya…)
Tanya: ku mo ni neen tanda hae kia. (tapi kamu beri tanda dulu biar dipercaya).
Pihak pengantin pria lalu melemparkan saputangan ke dalam kamar sebagai tanda lalu dibukakan pintu. Di dalam kamar opu lake (paman kedua bela pihak) memberikan nasihat untuk kedua pengantin itu sebagai bekal untuk memasuki hidup baru.
  • Mencuci rambut (mugu hebo).
Maksud dari ucapan ritual ini untuk membersihkan diri serta menyucikan segala sesuatu yang lama dan mempersiapkan pengantin untuk beralih dari status kehidupan mereka yang lama. Mereka dimandikan secara simbolik agar layak menjalankan hidup baru, dengan kebiasaan mencuci rambut mempelai wanita yang dilakukan oleh saudari si lelaki. Upacara ini di tutup dengan pembagian sirih-pinang (wekan wua malu) pada hari pertama setelah upacara pernikahan.



berlanjut...
-->