Minggu, 25 Oktober 2009

IDENTIFIKASI DESA LEWOTOBY


Gunung Kembar Lewotoby

LOKASI

        
    Lewotoby merupakan sebuah wilayah yang terletak di kabupaten Flores Timur, dalam lingkup kecamatan Wulanggitang. Lewotoby berasal dari dua penggalan kata yang bertolak belakang artinya, lewo yang berarti kampung dan Tobi berarti asam ( Kampung asam ). Dinamai demikian karena tepat di jantung kampung itu berdiri sebuah pohon asam dengan halaman yang cukup luas, tempat dimana pada masa lalu biasa diadakan pertemuan baik pemerintahan maupun adat oleh penduduknya.
          Wilayah ini adalah sebuah dusun kecil yang bergabung dalam desa Birawan. Birawan merupakan akronim dari tiga sub dusun yakni Lewotoby (Bi), Lewouran (Ra) dan Lewoawan (Wan). Dewasa ini sudah ada pemekaran, sub dusun Lewoawan berafiliasi dengan dusun Biranilan membentuk desa baru, sedangkan Lewotoby dan Lewouran tetap bernaung di bawah nama Birawan.
          Lokasi pedesaan ini terletak dibawah kaki gunung kembar yang juga bernama  Lewotoby. Menurut kepercayaan masyarakat lokal, ile Lewotoby (gunung lewotoby) yang bercabang dua ini diidentikan sebagai gunung laki-laki dan perempuan sehingga dalam bahasa setempat disebut dengan ile berlakin (gunung laki-laki) dan ile berwain (gunung perempuan). Masih berkaitan dengan keberadaan gunung ini, pada masa lampau apabila curah hujan mengalami penurunan, penduduknya selalu mengadakan ritual berupa memberi makan kedua gunung ini dengan membawa sedekah ke kaki gunung .    
          Dusun lewotoby memiliki keadaan alam yang kering dan tandus sebagaimana wilayah Flores pada umumnya, ke arah utara berbatasan dengan gunung Lewotoby, arah Timur berbatasan dengan desa Nuri (Nurabelen-Riangkaha), ke barat dengan desa Lewoawang dan ke selatan dibatasi oleh laut sawu. Dengan keadaan alam yang gersang ini menuntut para penghuninya untuk bekerja keras serta memiliki semangat juang yang tinggi menantang alam yang ganas.   

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MASAYARAKAT
            Pada prinsipnya, berbicara mengenai adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu daerah tertentu tidak terlepas dari latar belakang kehidupan masyarakatnya. Ilmu Antropologi menunjukan bahwa ada tujuh obyek yang senantiasa menjadi latar belakang kehidupan suatu masyarakat, yakni system kepercayaan (religi), system mata pencaharian (ekonomi), system bahasa, system pendidikan atau pengetahuan, komunitas dan system kesenian serta system kekerabatan yang sangat berpengaruh terhadap adat atau  system norma yang berlaku. Marilah kita melihat satu persatu system itu serta aplikasinya dalam kehidupan masyarakat Lewotoby.
1.      Sistem Kepercayaan (Religi).
       Sistem kepercayaan suatu masyarakat merupakan pertemuan antara manusia  dan Sesuatu yang Kudus (Ilahi), yang dipandang lebih tinggi dari manusia. Dalam hidupnya, manusia senantiasa menjalin relasi dengan sesutu yang kudus atau lazim disebut juga sebagai
”roh tertinggi”, karena dia menganggap dirinya tidak mampu memperoleh hidup abadi. Oleh karena itu, maka manusia merasa amat bergantung secara total pada yang kudus itu, walaupun Ia tremendum (maha hebat) sekaligus fascinosum (memiliki daya tarik yang kuat).
      Sebelum kedatangan agama Kristen dari Eropa, masyarakat yang menghuni dusun ini sudah menganut sebuah kepercayaan asli.  Keprcayaan asli ini muncul bersamaan dengan adat kebiasaan yang dianggap sebagai dasar kelanjutan suku. Pujaan kepada Leluhur di Nusa Tenggara Timur rupanya dianggap identik dengan suku, tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa leluhur yang menjadi tremendum sekaligus fascinosum mereka. Sosialitas penduduk Nusa Tenggara Timur dalam menyembah dan menghormati satu kekuatan tertinggi dinamakan sesuai dengan konteks budaya  masing-masing. Menurut mereka, kekuatan tertinggi itu di beri gelar Maha Tinggi, Maha Kuasa, Maha Pencipta dan Maha Penyelenggara. Nama-nama yang dialamatkan kepada Wujud Tertinggi itu bersifat kosmis dan antropomorfis serta simbolis.
  •   Kepercayaan kepada  Kosmos. Pada umumnya orang Timur berpikir secara monistis tentang kosmos. Mereka melihat manusia sebagai suatu bagian dengan alam. Manusia adalah mikrokosmos yang berelasi dengan alam yang makrokosmos yang memiliki kesadaran dan sejumlah kewajiban untuk menjalankan relasi yang harmonis dengan alam. Hal ini nampak dalam cara berpikir dan bersikap terhadap benda-benda tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan gaib serta angker. Benda-benda itu misalnya pohon-pohon besar dan barang-barang warisan nenek moyang. Konsep berpikir demikian juga tampak masih berkembang di kalangan masyarakat Lewotoby sejak awal hingga dewasa ini. Dalam relasi dengan kosmis, masyarakat Lewotoby yang adalah petani akan membuat ritus untuk meminta restu roh-roh  leluhur sebelum menebang pohon atau membuka hutan untuk lahan kebun yang baru. Seandainya hal itu tidak dilakukan akan membawa akibat petaka pada anggota keluarga mereka yang akan menderita. Untuk menghindari hal itu maka mereka dituntut untuk senantiasa menjaga keselarasan dan keharmonisan dengan alam. Contoh lain konsep berpikir demikian tampak dalam larangan untuk memindahkan wato moran (tumpukan batu) yang digunakan sebagai pembatas antara kebun milik mereka. Keserakahan untuk memperluas lahan kebun dengan memindahkan batu tanda pembatas kebun itu akan membawa penderitaan anggota keluarga itu turun temurun. Patut  dicatat bahwa dalam perkembangan saat ini, konsep demikian tidak lagi begitu diperhitungkan atau kian melemah karena sikap dan perilaku orang-orang tertentu yang merusak alam demi kepentingan  pribadi.
  • Kepercayaan terhadap roh-roh halus dan arwah. Sistem kepercayaan terhadap roh-roh halus dan arwah para leluhur merupakan hal yang menggejala di hampir semua masyarakat Asia. Demikian pula masyarakat Lewotoby yang mengenal nama  Nitung Lolon (dewi di darat) dan Hari (dewi di laut), serta Kwoko Kliten (arwah para leluhur). Nitung lolon  dan  hari  dipercaya memiliki kekuatan dahsyat yang menguasai daratan dan lautan. Konsep ini memperlihatkan nilai yang mengajarkan bahwa manusia hanyalah segelintir makluk lemah di bumi karena masih ada kekuatan lain yang menguasai baik darat maupun laut yang lebih berkuasa darinya. Kepercayaan terhadap kwoko kliten dihayati sebagai pengalaman bahwa walaupun arwah itu telah meninggal namun mereka masih tetap hidup di dunia sekarang. Nuha witi (pulau kambing) -sebuah pulau yang terletak di laut sawu (± 1,5 jam perjalanan dari pantai Lewotoby)- dipercaya sebagai tempat tinggal  para arwah tersebut. Sebagai representasi keberadaan para arwah itu dalam kehidupan mereka, masyarakat Lewotoby khususnya dan Flores Timur umumnya selalu menyisipkan nama para leluhur itu dalam nama anak-anak mereka.
  • Kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi. Para antropolog telah menyelidiki dan kemudian membuktikan bahwa setiap suku kendatipun paling arkhais (kuno) senantiasa memiliki suatu kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi, yang dipandang sebagai pengatur dan penjamin sekaligus penentu tata kehidupan didunia. Kepercayaan terhadap wujud tertinggi dalam masyarakat Lewotoby itu lazim dikenal dengan nama  Lera Wulan Tanah Ekan. Nama ini sejatinya berarti tak terjangkau dan tak terukur, namun juga dekat dan riil dalam hidup. Lera yang berarti matahari diyakini mempunyai kekuatan yang luar biasa dan misterius sekaligus tak terjangkau. Karenanya ia dipandang sebagai yang paling tinggi dan sempurna yang patut dijadikan sebagai salah satu sifat dari Yang Maha Tinggi. Wulan yang berarti bulan merupakan symbol segala perubahan di dunia beserta seluruh kegiatan manusiawinya. Posisi bulan dalam peredarannya dipakai masyarakat Lewotoby sebagai patokan untuk memulai  atau memasuki masa/musim baru dalam hidup, seperti masa bercocok tanam, saat mencari ikan di laut, dan lain-lain. Orang Lewotoby melukiskan lera wulan itu sebagai dasar segala kenyataan hidup manusia.Paul Arndt (seperti yang dikutip oleh Withyn: 7-8) menjelaskan tentang tanah ekan itu dibentuk dari kata tana (Autronesia) dan ekan  (Sanskrit). Kedua kata itu berarti lingkungan hidup atau bumi yang merupakan ruang hidup dan tempat bekerja serta tempat tinggal manusia. Demikianlah masyarakat Lewotoby menamai Wujud Tertinggi itu dengan mengkombinasi eksistensi matahari dan bulan sebagai sesuatu yang di atas dan tanah (bumi) sebagai sesuatu yang dibawah, yang mempunyai makna  gaib dan mistis namun nyata dalam hidup manusia.

2.      Sistem mata Pencaharian (Ekonomi)
      Mata pencaharian utama penduduk Lewotoby adalah bertani atau bercocok tanam. Sistem pertanian yang biasa dilakukan adalah berladang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan kadar kesuburan lahan. Sistem berpindah-pindah dari satu lahan ke lahan lain tidak berarti bahwa mereka tidak mengenal cara pembagian tanah garapan  karena dalam kenyataan bahwa penduduk lewotoby mempunyai tanah warisan para leluhur masing-masing. Hanya saja bahwa apabila lahan itu telah digarap beberapa kali maka ditinggalkan ke lahan yang lain, dengan tujuan peningkatan penghasilan dan memberi kesempatan pada lahan yang lama untuk secara alamiah mngembalikan kesuburannya. Pada zaman dahulu, pembukaan lahan baru senantiasa dimulai dengan upacara adat/ritual tertentu, namun pada masa sekarang telah menghilang karena perubahan tingkat pendidikan masyarakatnya yang semakin tinggi.
      Petani berladang dalam masyarakat Lewotoby sangat bergantung pada curah hujan yang hanya terjadi dalam bulan Oktober-Januari. Periode ini pun amat tidak menentu karena terkadang baru dimulai pada bulan Desember sampai Mei, sesuai dengan curah hujannya. Cara menanamnya dengan system tugal. Tanaman yang biasa ditanam adalah padi, jagung, kacang serta beberapa jenis tanaman lainnya.
      Yang menarik pada saat pengerjaan lahan sampai dengan penuaiannya adalah aspek sosial-kolektifnya. Nilai kebersamaan, gotong royong dan semangat  saling membantu amat terasa. Mereka mengenalnya dengan istilah gemohin (gotong royong) atau ungkapan pai Ttite hama-hama, epu limake, taan one tou, yang bermakna ajakan  untuk bergandengan tangan dan bersatu hati untuk saling membantu dan bekerja sama.
      Disamping bertani, mereka juga memelihara sejumlah hewan (ayam, babi, anjing) yang lebih berfungsi sosial daripada ekonomis.Ternak piaraan ini dikurbankan dalam upacara adat yang bersifat sacral-religi atau dalam kegiatan sosial-kolektif.  Mata pencaharian sampingan adalah nelayan dengan system penangkapan ikan yang masih amat tradisional.
3.      Sistem Bahasa
      Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Lamaholot sebagaimana umumnya masyarakat Larantuka, sehingga kesatuan masyarakat Flores Timur  biasa disebut juga masyarakat Lamaholot . Walau demikian, tidak berarti bahwa bahasa lamaholot itu tidak memiliki perbedaan antara satu dusun dengan dusun yang lainnya, karena dalam kenyataan menunjukan bahwa ada perbedaan-perbedaan tertentu baik kata, logat atau aksen antar dusun. Tetapi umumnya masyarakat saling mengerti/memahami satu dengan yang lainnya.
      Sedangkan dalam lingkungan formal, bahasa Indonesia tetap mendapat tempat utama dalam pemakaiannya, baik dilingkungan pendidikkan, pemerintah maupun lingkungan formal lainnya.
4.      Sistem Pengetahuan
      Pengetahuan masyarakat Lewotoby zaman dahulu tetap tidak terlepas dari peredaran bulan untuk memasuki musim  baru dalam siklus hidup mereka. Hal ini tidak terlepas dari pola religi terhadap adanya bulan yang diyakini sebagai symbol perubahan di dunia. Mereka akan memasuki masa bercocok tanam atau mencari ikan di laut dengan membaca letak bulan. Demikian pula, pelaksanaan upacara  perkawinan dilakukan apabila telah selesai masa bercocok tanam  dengan pertimbangan  banyaknya hasil panenan akan mampu mengadakan suatu pesta/ritual agar mampu menjamu tamu yang hadir.
5.      Komunitas (Community)
      Secara konkret, suatu kesatuan hidup setempat itu selalu menempati suatu wilayah tertentu di muka bumi. Sistem kemasyarakatan itu merupakan kesatuan yang tidak pertama-tama ada karena ikatan kekerabatan, tetapi karena ikatan tempat kehidupan. Orang-orang yang tinggal bersama di suatu wilayah itu memiliki rasa terikat oleh perasaan bangga dan cinta pada wilayahnya dan masih saling mengenal dalam pergaulan dengan frekuensi tertentu.
      Sistem kemasyarakatan dalam masyarakat Lewotoby mengikuti administrasi pemerintahan, dengan lingkungan terkecil adalah rukun tetangga, lalu rukun keluarga dan dusun sebagai yang terluas. Saat ini, Lewotoby itu sendiri dimekarkan menjadi dua dusun yakni Lewotoby A dan B. Selain system kemasyarakatan yang mengikuti pola administrasi pemerintahan, ada  juga system adat yang mengatur pola hidup mereka, baik dalam urusan perkawinan maupun penyelesaian kasus tertentu (secara lebih detail, akan dibahas pada sistim perkawinan yang mengatur hidup perkawinan masyarakat Lewotoby, bagian lain bab ini). Sistem adat itu dikepalai oleh seorang ketua adat yang biasa bertugas memimpin pertemuan adat untuk membahas sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan atau kasus tertentu yang harus diselesaikan melalui mekanisme adat.
      Dalam system kemasyarakatan, baik pemerintahan maupun adat ini, adanya rasa saling tolong menolong yang amat besar (gotong royong), yang sering tampak dalam peristiwa kecelakaan ,bencana, ritual kematian, dan lain-lain.
6.      Sistem Kesenian
      Penduduk Lewotoby mempunyai begitu banyak jenis kesenian yang tampak dalam seni tari, seni tenun, suara dan musik, yang sekaligus mencerminkan tatanan peradabannya. Semua bisa dilihat dan dinikmati secara terpisah tetapi juga terpadu sebagai bagian integral dari berbagai ritus magis-religius. Seni tari yang menonjol adalah tarian lusilerang dan hedung (perang). Sedangkan seni suara yang dipadukan dengan alat music tradisionalnya yakni suling.
      Kegiatan tenun –menenun memiliki proses tenun yang serupa namun memiliki motive-motive yang spesifik atau garis-garis dekoratif yang khas. Motive-motive itu seperti manusia, tumbuhan, binatang, perahu, ikan dan sebagainya. Semua kesenian itu dinikmati secara terpadu apabila mereka menyambut kedatangan tamu penting yang berkunjung, baik dari pemerintahan maupun agama, atau pada saat upacara perkawinan.
7.      Sistem Kekerabatan.
      Pembahasan mengenai system kekerabatan tidak lepas dari system perkawinan yang berlaku dalam suatu masyarakat, karena untuk memahami system kekerabatan dalam suatu masyarakat, harus dimulai dengan pemahaman akan system perkawinannya. Secara detail system perkawinan masyarakat Lewotoby akan dibahas pada  bagian Bab lain.
      Kelompok kekerabatan dalam masyarakat Lewotoby merupakan gabungan dari keluarga luas yang merasa diri berasal dari satu nenek moyang, dan yang satu sama lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki (clan patrilineal). Mereka masih saling mengenal dan bergaul karena sebagian besar biasanya masih tinggal bersama dalam dusun Lewotoby walaupun tidak dalam satu rumah. Namun hal ini tidak berarti bahwa anggota clan yang berada diluar dusun lantas menjadi asing atau tak dikenal, karena ikatan darah itu amat kuat mengusai mereka.
Biasanya, ikatan kekerabatan dalam clan itu mempunyai fungsi-fungsi misalnya:
a.             Memiliki sekumpulan harta pusaka/hak milik komunal clan itu, (misalnya tanah  warisan nenek moyang, mas kawin, dan lain-lain).
b.            Melakukan usaha produktif dalam lapangan mata pencaharian hidup sebagai satu kesatuan.
c.             Gotong royong dalam melakukan aktivitas sebagai satu kesatuan.
d.            Mengatur perkawinan dengan memelihara adat  exogami.
      Ikatan kekerabatan yang paling kecil dalam masyarakat Lewotoby adalah keluaarga inti (nuclear family) yang terdiri dari bapak, ibu, anak-anak. Untuk merumuskan ikatan kekerabatan secara tegas dalam masyarakatnya adalah hal tidak mudah, karena di satu pihak keluarga inti bagi konsep masyarakat setempat bisa berarti bapak, ibu, anak-anak, kakek, nenek, atau keluarga dekat lainnya yang masih serumah dengan keluarga inti itu. Disisi lain, dusun Lewotoby itu sendiri dapat dikatakan sebagai suatu kekerabatan dalam scop yang lebih luas karena masing-masing mereka terikat akan rasa emotional  satu sama lain.
-->


selanjutnya baca : Perkawinan Adat dalam Masyarakat Lewotoby


-->

Rabu, 21 Oktober 2009

TEORI

         Apakah perkawinan itu? Para antropolog telah berusaha membuat perbandingan antara adat istiadat perkawinan di semua kelompok budaya, namun selalu terjebak dalam dilemma definisi perkawinan itu sendiri. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan yang sangat berbeda dalam sistem perkawinan antara satu dengan kelompok masyarakat lainnya.
            Gough ( seperti dikutip oleh Keesing 1981 : 6 ) melihat perkawinan disepanjang masa dan di semua tempat sebagai suatu kontrak menurut adat kebiasaan. Dalam hal ini, yang menjadi sentral atensi Gough adalah dengan perkawinan itu seorang anak memperoleh hak legitimasi aar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Goodenough ( dikutip oleh Keesing 1981 : 6 ) dalam usahanya mencapai definisi perkawinan yang universal, melihat perkawinan itu sebagai suatu transaksi yang menghasilkan kontrak  ( pria atau wanita, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil ) yang memiliki hak secara terus menerus untuk menggauli saeorang wanita secara seksual. Goodenough memprioritaskan perkawinan itu pada hak untuk menggauli secara seksual seorang wanita baik yang sedang dimiliki maupun yang kemudian menjadi milik orang lain terhadap wanita itu, sampai kontrak itu berakhir dan wanita bersangkutan memenuhi syarat untuk melahirkan anak.
     Koentjaraningrat ( 1992 : 93 ) yang melihat perkawinan dari sudut pandang kebudayaan kendefinisikannya sebagai pengatur kelakuan manusia, terutama yang berkaitan dengan kehidupan seksnya. Akibat dari perkawinan ini, menurut Koentjaraningrat, seorang laki-laki tidak dapat bersetubuh dengan wanita lain tetapi dengan satu atau beberapa wanita tertentu dalam masyarakat. Akibat dari perkawinan yang berfungsi sebagai pengatur kelakuan hidup sex manusia itu adalah seorang laki-laki terikat pada ikatan dengan satu atau beberapa wanita saja.
            Analisis komparatif para antropolog terhadap definisi perkawinan di atas, dapat dilihat benang merah untuk memahami perkawinan itu sendiri. Perkawinan adalah media yang mengatur tingkah laku kehidupan seksual manusia dalam jangka waktu tertentu ataupun bersifat tetap yang di dalamnya legitimasi anak mendapat tempat dalam kehidupan sosialnya. Dari point-point di atas kita dapat menyusun sejumlah hal penting untuk memahami perkawinan itu:
  1. Secara karakteristik, perkawinan itu tidak sekedar hubungan antara individu tapi lebih dari itu adalah  kontrak antara sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu ataupun tetap.
  2. Karena perkawinan itu merupakan transaksi, maka tentu ada peralihan-perpindahan hak antar kelompok.
  3. Perkawinan itu tidak harus monogami.
  4. Perkawinan itu tidak selalu memprioritaskan hak seorang suami untuk menggauli wanita, karena ada perkawinan antar wanita, peminjaman isteri, love affairs, dan lain-lain ( Keesing 1992 : 6-7 ).
  5. Perkawinan itu menjadi alat yang mengatur kelakuan hidup seksual manusia.
   Seperti yang diutarakan dalam bagian latar belakang bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa sosial, maka orang yang hendak mengambil inisiatif untuk kawin harus memenuhi syarat – syarat tertentu. Syarat – syarat untuk kawin dalam adat istiadat berbagai suku bangsa dapat dibagi dalam tiga kelompok yakni:
  1.  Mas kawin ( bride-price ).
  2. Pencurahan tenaga untuk kawin ( bride-service )
  3. Pertukaran gadis ( bride-exchange)
Pembahasan lebih lanjut akan berfokus pada syarat pertama dalam perkawinan.
Apakah mas kawin itu? Mas kawin merupakan sejumlah harta yang diberikan oleh pemuda kepada gadis dan kaum kerabatnya. Arti dasar mas kawin pada mulanya adalah sebagai pengganti kerugian karena di dalam suatu kelompok kekerabatan yang kecil seseorang warga adalah tenaga potensial demi kelangsungan hidup keluarga itu. Dengan demikian, jikalau sang gadis diambil untuk dibawa kawin harus diganti dengan sejumlah harta karena kerugian atas tenaga kerja ( Koentjaraningrat, 1992 : 103 ). Ide ini sejalan dengan Goodenough –yang melihat perkawinan itu sebagai kontrak yang diadakan antara kelompok-kelompok kekerabatan- di dalamnya memuat arti bahwa ada hak-hak yang diberikan kepada kelompok mempelai pria sebagai tukaran dari barang-barang bermakna simbolis yang diterima mempelai wanita: system barang/uang antaran ( bride wealth ). Barang antaran ini merupakan gejala universal dalam masyarakat Asia Tenggara yang organisasinya mengikuti garis kognatis, tapi tampaknya lebih merupakan transaksi antar keluarga sebagai imbalan bagi kerabat mempelai wanita karena kehilangan tenaga kerjanya dan sebagai upacara terbentuknya rumah tangga baru ( Keesing, 1992 : 7-8 ).
Wilken memandang mas kawin sebagai sejumlah harta yang oleh pihak lelaki diberikan kepada kaum kerabat gadis dengan tujuan untuk memuaskan hati mereka dan meredamkan rasa dendam karena salah seorang gadis di antara mereka dilarikan atau bruidschaking (melarikan anak gadis). Dalam persepsi Wilken, mas kawin adalah hal yang survival dalam masa peralihan antara masyarakat yang matrilineal ke yang patrilineal. Perspektif ini lahir karena Wilken adalah penganut pandangan yang mengatakan bahwa dalam sejarah perkembangan masyarakat manusia terjadi evolusi, yakni perubahan dari tingkat promiskuitas; dari matrilineal ke patrilineal dan parental sebagai tingkat tertinggi. Perspektif Wilken ini didasarkan pada alasan bahwa jikalau tidak demikianmaka setiap lelaki yang hendak mengawini seorang gadis harus datang dan berdiam ( menetap ) di rumah keluarga gadis itu. Menghindari kemungkinan itu maka dirasa perlu untuk melarikannya ke rumah lelaki. Dengan pertimbangan ini maka Wilken berpendapat bahwa bruidschat itu merupakan suatu zoengave ( silih ) dan bukab suatu kooprijs ( harga pembelian ( Hans Daeng, 2004: 4-5 ).
Pada hakekatnya, perumusan arti mas kawin itu tidak mudah. Memang kata-kata local untuk mas kawin dalam masyarakat Indonesia; seperti tukan – bahasa Jawa, pangolin, boli, tuhor – Batak, welin – bahasa Maluku, belis – NTT, semuanya berarti beli, namun tidak begitu saja lantas diinterpretasikan sebagai harga pembelian, karena :
  1. Pihak keluarga gadis biasanya memberi hadiah balasan atas mas kawin yang dibawa.
  2. Besar kecilnya mas kawin itu sudah digariskan sesuai dengan kedudukan social/keturunan orang-orang yang kawin.
  3.  Dalam banyak etnik di Indonesia,kedudukan pihak pemberi gadis dianggap lebih tinggi, kerena itu harus dihormati (Daeng 2000 : 10 – 11 ).
  4. Adalah tidak biasa dalam masyarakat bahwa pihak pembeli menjual kembali yang dibelinya. Laki – laki yang kawin itu sesungguhnya tidak boleh menjual isterinya kepada orang lain ( Fischer; 1980 : 106)
Terhadap hal ini, dapat dilihat bahwa fungsi mas kawin itu pada banyak suku bangsa di Indonesia adalah sebagai syarat yang harus dilakukan, artinya bahwa perkawinan itu berlangsung dengan syarat harus terlebih dahulu memberikan mas kawin. Sedangkan Fischer ( 1980 : 107 ) lebih melihatnya sebagai tukaran hadiah antar kaum kerabat kearena kebiasaan saling berkunjung untuk memperkuat hubungan baik di antara mereka.
Perkawinan yang mengenal mas kawin umumnya terdapat dalam masyarakat penghasil pangan (tribal). Mengapa system mas kawin atau barang antaran itu karakteristik bagi masyarakat yang melakukan usaha tani atau penggembala dan tidak karakteristik bagi masyarakat pemburu-peramu, atau sistem masyarakat yang lebih kompleks? Sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat di atas, dalam hal ini sifat pekerjaan dan surplus produksi merupakan unsur – unsur yang menentukan. Surplus produksi dapat digunakan untuk memelihara prestise dan kegiatan politik member nilai tinggi pada tenaga kerjanya kaum muda pria dan wanita dan kepada reproduksi fisik tenaga kerja. Bagi masyarakat tribal yangmelakukan usaha tani, barang-barang antaran/mas kawin itu keanekaragamannya amat mencolok serta mengandung nilai simbolis, prestisius serta magis; seperti gong kuningan, gelang gading, taring gajah, gigi kucing, cincin kulit kerang yang sudah memfosil, gulungan kain dari bulu burung, perhiasan emas, hewan ( kerbau, kuda, kambing ), dan lain-lain. Betapapun keanekaragamannya, namun dapat dicatat beberapa karakteristik yang sama :
1.   Barang – barang itu cukup langka ( sering dari luar daerah ) sehingga tidak mudah diperoleh dengan usaha perorangan.
2.  Peredarannya dikendalikan oleh para orang tua, sehingga orang muda harus berbakti dan menempatkan diri di bawah orang tua.
3.    Melalui pengawasan itu, para orang tua menguasai pembagian tenaga kerja wanita dan kesuburan wanita, kapasitas yang memungkinkan reproduksi manusia ( Keesing; 1982 : 8 ).
Besar kecilnya mas kawin itu berbeda-beda pada berbagai suku bangsa. Kadang-kadang besar kecilnya harus ditetapkan secara berunding antara kedua pihak yang bersangkutan. Unsur-unsur seperti kedududukan social, kepandaian/keterampilan, kecantikan, umur dari si gadis turut pula berpengaruh dalam penentuan besar kecilnya mas kawin tersebut.
Pihak – pihak yang biasanya memperoleh hak atas mas kawin itu ada tiga kemungkinan :
1.    Kaum  kerabat gadis dengan dijelaskan lebih lanjut siapakah di antara kaum keluarga itu yang menjadi penerimanya.
2.     Si gadis itu sendiri.
3.     Sebagian kepada si gadis dan sebagian kepada kaum kerabatnya ( Koentjaraningrat, 1992 : 103 – 104 ).
Pihak – pihak yang biasanya memperoleh hak atas mas kawin itu ada tiga kemungkinan :
1.   Kaum kerabat gadis dengan dijelaskan lebih lanjut siapakah diantara kaum keluarga itu yang menerimanya.
2.      Si gadis itu sendiri.
3.   Sebagian kepada si gadis dan sebagian kepada kaum kerabatnya ( Koentjaraningrat, 1992 : 103-104 ).
Terbayar lunas tidaknya mas kawin itu turut berpengaruh pula terhadap pola menetap atau tempat tinggal sesudah perkawinan. Jika mas kawin tidak terbayar lunas maka pola tempat tinggal yang berlaku adalah uxorilokal ( wajib diam di keluarga isteri ). Sebaliknya, jika dibayar lunas maka pihak suami akan memboyong isterinya untuk menetap di keluarganya ( virilokal ). Namun sering pila terjadi bahwa walaupun mas kawin terbayar lunas namun pola menetap sesudah perkawinan adalah uxorilokal, sebaliknya walaupun tidak terbayar lunas, suami dapat membawa isterinya untuk tinggal di tempat lain ( neolokal ). Hal ini terutama terlihat pada para pegawai negeri yang tidak menetap di suatu tempat ( Daeng, 2000 : 9 ).
Tidak dapat disangkal bahwa walaupun mas kawin itu sesungguhnya sudah ditetapkan oleh adat sehingga setiap pendukungnya harus menaatinya, namun cukup sering juga orang mengadakan perubahan. Mas kawin kian lama kian terdesak oleh zaman. Hal ini tidak lepas dari aspek kemanusiaan manusia yang yang oleh Louis Leahy ( 1998: 281 ) disebut sebagai makluk paradoksal dan penuh dengan kontras. Manusia sekaligus terbatas dan terbuka kearah ketidakterbatasannya, terkondisi dan bebas, kodrati dan budayani, fisik dan rohani, individual dan social, kosmis dan historis. Ia terbatas dan terkondisi untuk taat pada adat yang berlaku dalam masyarakat ( termasuk menghidupi aturan mas kawin ), sekaligus terbuka dan bebas untuk melakukan perubahan atas adat itu. 

selanjutnya baca : Identifikasi Desa Lewotoby

Minggu, 18 Oktober 2009

Pendahuluan


Upacara Adat Pengantaran Mas Kawin (gading gajah)
      Suatu saat, di tahun 1544, pelaut Portugis bernama S. M. Cabot melakukan pelayaran di perairan Nusantara. Di ujung sebuah pulau, Cabot begitu terpesona dengan keindahan cendawan karang raksasa, Flores. Cabot, tak pelak memeterainya dengan nama Cabo de Flores, dan hanya wilayah inilah yang kemudian tetap menggunakan kata Flores dalam memeteraikan kabupaten Flores Timur sebagai salah satu dari enam kabupaten yang ada di pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur.
       Kabupaten Flores Timur mencakup Flores Timur daratan (bagian paling Timur pulau Flores), pulau Solor dan pulau Adonara. Realita ini menjadikannya sebagai sebuah kabupaten kepulauan, sehingga sering dilukiskan sebagai “miniature Nusa Tenggara Timur”. Dengan karakter geografis demikian, kabupaten Flores Timur mengandung sumber daya alam yang begitu beragam berupa tapak-tapak kepurbakalaan, kesejarahan, kebudayaan, flora dan fauna yang unik-spesifik serta kebaharian yang amat potensial.
        Potret jati diri masyarakat Lamaholot (kesatuan adat budaya Lamaholot: yang berbahasa Lamaholot) yang khas dan spesifik itu misalnya prosesi Jumad Agung warisan Portugis di Larantuka, harta kepubakalaan berupa situs “Nopin Jaga” di Tanjung Bunga, harta kesejarahan berupa titisan kerajaan Larantuka atau kerajaan Lamahala, rona budaya seperti rumah adat, perkampungan tradisional dengan berbagai situs tradisional yang digelar secara terpadu : seni, tari dan tenun, serta di pelataran pulau Solor dan Lewotoby yang masih membersitkan harumnya kayu cendana dan gaharu di masa silam. Semuanya merupakan jati diri dan lensa bumi air Flores Timur, sekaligus sebagai bagian integral dari sebuah bangsa yang besar : Bangsa Indonesia ( Michael Beding dan Lestari Beding, 1998 ).
     Untuk selanjutnya tulisan ini lebih berfokus pada masalah kebudayaan dengan titik beratnya pada eksistensi gading gajah dalam sistem perkawinan masyarakat Larantuka Flores Timur.
        Perkawinan adat adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Flores Timur. Ilmu Antropologi mencatat bahwa hampir semua adat masyarakat memetakan hidup seorang individu ke dalam tingkat-tingkat tertentu atau stages along the life cycle; misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dan kematian. Peralihan hidup seorang individu dari satu stage ke stage  berikutnya selalu disertai upacara ritual tertentu. Hal ini karena ada anggapan bahwa saat peralihan dari satu tingkat ke tingkat hidup berikutnya, atau dari suatu lingkungan sosial ke lingkungan sosial lain itu merupakan saat yang gawat atau penuh bahaya, nyata maupun gaib. Untuk menolak bahaya gaib yang mengancam hidup individu serta lingkungannya, maka diadakan upacara waktu krisis, yang dalam ilmu Antropologi disebut sebagai crisis-rites, atau upacara peralihan ( rites de passage ). Upacara-upacara itu juga mempunyai fungsi sosial yakni menyatakan kepada khalayak ramai tingkat hidup baru yang dicapai indiviidu bersangkutan. Gejala ini bersifat universal karena hampir terdapat di semua kebudayaan manusia. Dari semua upacara ritual dalam kehidupan manusia itu, perkawinan merupakan tingkatan terpenting dalam putaran hidup semua manusia di seluruh dunia ( dari tingkatan remaja ke hidup berkeluarga ) ( Koentjaraningrat 1992 : 92-93 ).
        Van Vollenhoeven ( seperti yang dikutip oleh Bakker 1984 ) menunjukkan bahwa Indonesia terdiri dari 19 wilayah hukum adat. Flores Timur merupakan satu dari ke-19 wilayah hukum adat itu. Sementara itu, di Flores sendiri masih terdiri dari sub-sub suku bangsa yang memiliki keanekaragaman kebudayaan dan bahasa, yakni 1) orang Manggarai, 2) orang Riung, 3) orang Ngada, 4) orang Naga Keo, 5) orang Ende, 6) orang Lio, 7) orang Sikka, dan 8) orang Larantuka ( Koentjaraningrat 1999 : 190 ). Karena berdiri sebagai satu wilayah hukum adat maka masyarakat Flores mempunyai aturan perkawinan tersendiri. Umumnya, masyarakat Nusa Bunga ( Flores ) dan Flores Timur khususnya mengenal system perkawinan eksogami clan dengan pola patrilineal. Perkawinan dihayati tidak sekedar ikatan laki-laki dan wanita tapi perkawinan antara dua clan menjadi satu keluarga. Artinya bahwa, perkawinan perkawinan antara laki-laki dan wanita menjadi medium yang mempersatukan segenap anggota clan menjadi satu keluarga. Perkawinan menjadi suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan wanita tetapi juga mengikat –dalam suatu hubungan- kaum kerabat dari si laki-laki dan si wanita. Hal ini membawa implikasi bahwa jika laki-laki clan A mengawini wanita dari clan B maka tertutup kemungkinan bagi anggota keluarga A dan B yang lainnya untuk saling kawin ataupun dikawini karena mereka telah menjadi satu keluarga. Dalam hal ini, pemuda dari clan B harus mencari anak gadis dari clan C sebagai calon mempelainya. Oleh karena itu maka, masyarakat Flores Timur – Larantuka mengenal system perkawinan tiga tungku ( lika telo ): tiap-tiap clan serentak duduk sebagai Pemberi dan Pengambil anak dara: Conubium ( Ficher 1980 : 94 ).
    Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa peralihan hidup seseorang dari satu tingkat ke tingkat berikutnya senantiasa disertai upara ritual tertentu, demikian pula perkawinan dalam kehidupan masyarakat Lamaholot senantiasa disertai upacara ritual yang tidak kecil sekaligus merupakan tingkatan terpenting dalam kehidupan masyarakat. Untuk membicarakan sebuah upacara ritual perkawinan, hal yang paling rumit dan interesant adalah gading sebagai belis ( mas kawin ) yang deserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita. Gading sebagai mas kawin dalam hal ini menjadi hak yang diterima oleh pihak keluarga wanita sekaligus adalah kewajiban pihak lelaki. Suatu perkawinan bahkan dinilai aib apabila tanpa ( bala ). Dari sini dapat diketahui bahwa betapa pentingnya gading sebagai syarat demi terjadinya perkawinan dalam budaya masyarakat Flores Timur umumnya dan Lewotoby khususnya. 
         Waktu berubah dan pola pikir manusiapun turut berubah di dalamnya. Seirama dengan perubahan pola pikir manusia itu, kebudayaanpun turut mengalami perubahan kerena keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang yang lainnya. Kehidupan manusia dalam budayanya adalah suatu hal yang rumit dan kompleks. Di satu pihak manusia imanen di dalam dirinya, artinya bahwa manusia hidup dan tumbuh dalam suatu lingkungan budaya yang melingkupinya. Ia berperilaku dan bersikap berdasarkan ikatan norma dan asas yang berlaku dalam budayanya. Sedangkan di lain sisi, dalam batas tertentu serta dalam perjalanan kedewasaannya, manusia mampu mengekspresikan kemanusiaannya dengan berkreasi dalam bentuk norma ataupun asas-asas baru, mengubah dan memperbaiki tatanan yang telah ada.
      Pernyataan di atas mengandung pengertian bahwa kehidupan manusaia yang berbudaya itu menuntunnya untuk tunduk dan patuh pada peraturan yang berlaku, sekaligus menuntutnya untuk menciptakan, mengubah atau memperbaikinya ( transformasi ) ( Mardimin 1994 : 13 ). Menangkap gejala itu, Louis Leahy dengan bahasa yang berbeda mengatakan bahwa manusia secara biologis belum rampung. Manusia tidak pernah dewasa ( sempurna ) karena eksistensinya merupakan sebuah proses pencapaian dan proses belajar tanpa akhir.
    Sejalan dengan ide yang ada, Jakob Sumardjo ( 2002 : ix ) mengatakan bahwa semua manusia menempati suatu ruang social, waktu dan temapt tertentu, dan dari sini ia memperoleh pengetahuan tentang apa yang berharga dan tidak berharga dalam hidupnya. Lebih lanjut, -masih menurut Jakob- berdasarkan pengetahuan yang diperoleh itu dan bersama manusia lainnya ia menghidupi tatanan yang ada dalam ruang sosial, waktu dan tempat itu, sekaligus mengubah dan menolaknya karena kodratnya yang memiliki potensi-potensi kejiwaan ( rasio, perasaan, hasrat dan kerohanian intuitif yang bebas ).
        Pola pikir masyarakat Larantuka tidak luput dari dua kenyataan di atas. Di satu pihak mereka tunduk dan menghidupi adat kebiasaan yang mengatur hidup mereka. Tetapi tidak bisa diingkari bahwa pada kenyataan lain, mereka dinamis dalam kaitan dengan usaha transformasi adat kebudayaan yang memanage pola tingkah laku mereka. Mas kawin dalam budaya perkawinana adat masyarakat ujung timur pulau Bunga ( Flores Timur ) tidak luput dari arus perubahan karena pola pikir manusia pendukungnya berubah dalam waktu yang berubah.
        Berdasarkan latar belakang di atas maka kami mengangkatnya dala tulisan ini dengan judul Eksistensi Gading Gajah sebagai Mas Kawin dalam Sistem Perkawinan Masyarakat Larantuka Flores Timur.


selanjutnya baca : Teori

Kamis, 01 Oktober 2009

EKSISTENSI GADING GAJAH SEBAGAI MAS KAWIN DALAM SISTEM PERKAWINAN MASYARAKAT LARANTUKA FLORES TIMUR



Flores adalah sebuah pulau yang berafiliasi dengan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini terletak di timur dan menjadi bagian integral dari Indonesia - sebuah negara besar dan bangsa. Hal ini dibagi pada tujuh kabupaten. Mereka kabupaten Manggarai Timur adalah, Manggarai Barat, Ngada, Naga Keo, Ende, Sikka dan Flores Timur. Sejarah Flores adalah masalah yang sangat menarik seperti sejarah Indonesia dan banyak pulau yang terpisah, Flores namun memiliki beberapa kejutan dan disembunyikan dalam buku-buku sejarah, beberapa dari mereka hanya telah terungkap dalam beberapa tahun terakhir. Tapi Flores memiliki beberapa bom dan okultisme dalam buku sejarah, beberapa dari mereka hanya terdegradasi dalam beberapa tahun terakhir. Flores terdiri dari enam kelompok budaya dan bahasa utama yang telah pindah ke Flores berpikir 'dan sejarah termasuk Manggarai, Ngada, Lio, Sikka, Ende dan Lamaholot. Karena terdiri oleh beberapa suku dan budaya, mereka memiliki urutan pernikahan oleh mereka sendiri. Perhatian dari artikel ini adalah pada urutan adat perkawinan masyarakat Flores. Kita akan mempelajari satu per satu mulai dari yang paling timur Kabupaten Pulau Flores, yaitu Flores Timur.




PENGANTAR

Studi etnografi menunjukkan perkembangan yang menggairahkan. Pendekatan etnografis dalam melihat fakta-fakta sosial budaya ataupun keagamaan suatu masyarakat yang beragam serta yang masing-masing memperlihatkan orisinalitasnya yang khas, jelas menginspirasikan suatu gejala baru, yakni bangkitnya “suara yang diam” ke permukaan, setelah sekian lama mengalami marjinalisasi, keterkungkungan, tuduhan sebagai yang “tidak beradab”, primitive dan setumpuk tudingan lain yang mendiskreditkan. Budaya, tradisi dan kepercayaan lokal sering dipandang sebagai entitas sosial budaya yang tidak rasional, kumuh, terbelakang dan cermin kebodohan yang tidak memiliki visi kemajuan.
Persepsi demikian lahir karena bias dari modernisasi. Peradaban modern yang mengklaim diri sebagai yang ilmiah dan universal, sebenarnya memiliki watak penetrative dalam dirinya. Universalisme adalah kebenaran yang dinilai paling rasional sehingga perlu melakukan penyelamatan terhadap manusia dari “peradaban lumpur” itu. Akibatnya, banyak hal dilakukan atas nama kemajuan dan modernitas justru membenamkan manusia ke dalam kondisi ketimpangan, pengingkaran hak asasi dan alienasi.
Sementara itu, ketika pariwisata dianggap mampu menjawabi devisa Negara terbesar di luar sector non-migas, berbagai elemen lantas mengemas sesuatu yang asli –dalam wujud tradisi, budaya, keperayaan asli maupun pelbagai entitas yang dipandang antik lainnya- untuk dikonsumsi wisatawan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika modernitas memperlihatkan gemanya, yang asli dan luhur di atas dipandang sebagai penghalang gerak maju. Tetapi ketika pariwisata mampu memperlihatkan perannya, yang asli itu lantas menjadi komoditi yang layak untuk dijual.
Perhatian tulisan ini adalah pada masalah tradisi local masyarakat Lewotoby, sebuah dusun di kecamatan Lewotoby kabupaten Flores Timur provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, berkenaan dengan mahar ( belis ). Pada satu pihak, mahar dipandang mampu menjaga tata krama pergaulan dan menjamin adanya rasa saling menghormati antara masyarakat, namun seiring waktu yang berubah, mas kawin itu dianggap perlu untuk untuk diadakan perubahan, khususnya terhadap materi mas kawin itu sendiri. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu persoalan selama tidak merusak tatanan yang telah dibangun bersama.
Mas kawin yang diberikan dalam lingkungan masyarakat Flores Timur adalah Gading Gajah, suatu hal yang amat fenomenal, karena jika kita menoleh kebelakang maka realita akan berbicara bahwa Flores bukan merupakan habitat spesies gajah. Lantas akan muncul pertanyaan darimana munculnya gading tersebut? Mengapa harus Gading gajah yang digunakan sebagai Mas Kawin? Atau, siapa yang mula-mula memulainya sebagai mas kawin? Apa kedudukannya dalam sistem perkawinan? Dengan melihat kenyataan bahwa Flores bukan merupakan tempat tinggal gajah, tentu akan berakibat pada semakin punah atau menghilangnya gading tersebut. Jikalau demikian, apakah proses perkawinan masih terjadi kalau tidak ada lagi gading tersebut?

Thomas Kedang



selanjutnya : Pendahuluan