Minggu, 25 Oktober 2009

IDENTIFIKASI DESA LEWOTOBY


Gunung Kembar Lewotoby

LOKASI

        
    Lewotoby merupakan sebuah wilayah yang terletak di kabupaten Flores Timur, dalam lingkup kecamatan Wulanggitang. Lewotoby berasal dari dua penggalan kata yang bertolak belakang artinya, lewo yang berarti kampung dan Tobi berarti asam ( Kampung asam ). Dinamai demikian karena tepat di jantung kampung itu berdiri sebuah pohon asam dengan halaman yang cukup luas, tempat dimana pada masa lalu biasa diadakan pertemuan baik pemerintahan maupun adat oleh penduduknya.
          Wilayah ini adalah sebuah dusun kecil yang bergabung dalam desa Birawan. Birawan merupakan akronim dari tiga sub dusun yakni Lewotoby (Bi), Lewouran (Ra) dan Lewoawan (Wan). Dewasa ini sudah ada pemekaran, sub dusun Lewoawan berafiliasi dengan dusun Biranilan membentuk desa baru, sedangkan Lewotoby dan Lewouran tetap bernaung di bawah nama Birawan.
          Lokasi pedesaan ini terletak dibawah kaki gunung kembar yang juga bernama  Lewotoby. Menurut kepercayaan masyarakat lokal, ile Lewotoby (gunung lewotoby) yang bercabang dua ini diidentikan sebagai gunung laki-laki dan perempuan sehingga dalam bahasa setempat disebut dengan ile berlakin (gunung laki-laki) dan ile berwain (gunung perempuan). Masih berkaitan dengan keberadaan gunung ini, pada masa lampau apabila curah hujan mengalami penurunan, penduduknya selalu mengadakan ritual berupa memberi makan kedua gunung ini dengan membawa sedekah ke kaki gunung .    
          Dusun lewotoby memiliki keadaan alam yang kering dan tandus sebagaimana wilayah Flores pada umumnya, ke arah utara berbatasan dengan gunung Lewotoby, arah Timur berbatasan dengan desa Nuri (Nurabelen-Riangkaha), ke barat dengan desa Lewoawang dan ke selatan dibatasi oleh laut sawu. Dengan keadaan alam yang gersang ini menuntut para penghuninya untuk bekerja keras serta memiliki semangat juang yang tinggi menantang alam yang ganas.   

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MASAYARAKAT
            Pada prinsipnya, berbicara mengenai adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu daerah tertentu tidak terlepas dari latar belakang kehidupan masyarakatnya. Ilmu Antropologi menunjukan bahwa ada tujuh obyek yang senantiasa menjadi latar belakang kehidupan suatu masyarakat, yakni system kepercayaan (religi), system mata pencaharian (ekonomi), system bahasa, system pendidikan atau pengetahuan, komunitas dan system kesenian serta system kekerabatan yang sangat berpengaruh terhadap adat atau  system norma yang berlaku. Marilah kita melihat satu persatu system itu serta aplikasinya dalam kehidupan masyarakat Lewotoby.
1.      Sistem Kepercayaan (Religi).
       Sistem kepercayaan suatu masyarakat merupakan pertemuan antara manusia  dan Sesuatu yang Kudus (Ilahi), yang dipandang lebih tinggi dari manusia. Dalam hidupnya, manusia senantiasa menjalin relasi dengan sesutu yang kudus atau lazim disebut juga sebagai
”roh tertinggi”, karena dia menganggap dirinya tidak mampu memperoleh hidup abadi. Oleh karena itu, maka manusia merasa amat bergantung secara total pada yang kudus itu, walaupun Ia tremendum (maha hebat) sekaligus fascinosum (memiliki daya tarik yang kuat).
      Sebelum kedatangan agama Kristen dari Eropa, masyarakat yang menghuni dusun ini sudah menganut sebuah kepercayaan asli.  Keprcayaan asli ini muncul bersamaan dengan adat kebiasaan yang dianggap sebagai dasar kelanjutan suku. Pujaan kepada Leluhur di Nusa Tenggara Timur rupanya dianggap identik dengan suku, tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa leluhur yang menjadi tremendum sekaligus fascinosum mereka. Sosialitas penduduk Nusa Tenggara Timur dalam menyembah dan menghormati satu kekuatan tertinggi dinamakan sesuai dengan konteks budaya  masing-masing. Menurut mereka, kekuatan tertinggi itu di beri gelar Maha Tinggi, Maha Kuasa, Maha Pencipta dan Maha Penyelenggara. Nama-nama yang dialamatkan kepada Wujud Tertinggi itu bersifat kosmis dan antropomorfis serta simbolis.
  •   Kepercayaan kepada  Kosmos. Pada umumnya orang Timur berpikir secara monistis tentang kosmos. Mereka melihat manusia sebagai suatu bagian dengan alam. Manusia adalah mikrokosmos yang berelasi dengan alam yang makrokosmos yang memiliki kesadaran dan sejumlah kewajiban untuk menjalankan relasi yang harmonis dengan alam. Hal ini nampak dalam cara berpikir dan bersikap terhadap benda-benda tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan gaib serta angker. Benda-benda itu misalnya pohon-pohon besar dan barang-barang warisan nenek moyang. Konsep berpikir demikian juga tampak masih berkembang di kalangan masyarakat Lewotoby sejak awal hingga dewasa ini. Dalam relasi dengan kosmis, masyarakat Lewotoby yang adalah petani akan membuat ritus untuk meminta restu roh-roh  leluhur sebelum menebang pohon atau membuka hutan untuk lahan kebun yang baru. Seandainya hal itu tidak dilakukan akan membawa akibat petaka pada anggota keluarga mereka yang akan menderita. Untuk menghindari hal itu maka mereka dituntut untuk senantiasa menjaga keselarasan dan keharmonisan dengan alam. Contoh lain konsep berpikir demikian tampak dalam larangan untuk memindahkan wato moran (tumpukan batu) yang digunakan sebagai pembatas antara kebun milik mereka. Keserakahan untuk memperluas lahan kebun dengan memindahkan batu tanda pembatas kebun itu akan membawa penderitaan anggota keluarga itu turun temurun. Patut  dicatat bahwa dalam perkembangan saat ini, konsep demikian tidak lagi begitu diperhitungkan atau kian melemah karena sikap dan perilaku orang-orang tertentu yang merusak alam demi kepentingan  pribadi.
  • Kepercayaan terhadap roh-roh halus dan arwah. Sistem kepercayaan terhadap roh-roh halus dan arwah para leluhur merupakan hal yang menggejala di hampir semua masyarakat Asia. Demikian pula masyarakat Lewotoby yang mengenal nama  Nitung Lolon (dewi di darat) dan Hari (dewi di laut), serta Kwoko Kliten (arwah para leluhur). Nitung lolon  dan  hari  dipercaya memiliki kekuatan dahsyat yang menguasai daratan dan lautan. Konsep ini memperlihatkan nilai yang mengajarkan bahwa manusia hanyalah segelintir makluk lemah di bumi karena masih ada kekuatan lain yang menguasai baik darat maupun laut yang lebih berkuasa darinya. Kepercayaan terhadap kwoko kliten dihayati sebagai pengalaman bahwa walaupun arwah itu telah meninggal namun mereka masih tetap hidup di dunia sekarang. Nuha witi (pulau kambing) -sebuah pulau yang terletak di laut sawu (± 1,5 jam perjalanan dari pantai Lewotoby)- dipercaya sebagai tempat tinggal  para arwah tersebut. Sebagai representasi keberadaan para arwah itu dalam kehidupan mereka, masyarakat Lewotoby khususnya dan Flores Timur umumnya selalu menyisipkan nama para leluhur itu dalam nama anak-anak mereka.
  • Kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi. Para antropolog telah menyelidiki dan kemudian membuktikan bahwa setiap suku kendatipun paling arkhais (kuno) senantiasa memiliki suatu kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi, yang dipandang sebagai pengatur dan penjamin sekaligus penentu tata kehidupan didunia. Kepercayaan terhadap wujud tertinggi dalam masyarakat Lewotoby itu lazim dikenal dengan nama  Lera Wulan Tanah Ekan. Nama ini sejatinya berarti tak terjangkau dan tak terukur, namun juga dekat dan riil dalam hidup. Lera yang berarti matahari diyakini mempunyai kekuatan yang luar biasa dan misterius sekaligus tak terjangkau. Karenanya ia dipandang sebagai yang paling tinggi dan sempurna yang patut dijadikan sebagai salah satu sifat dari Yang Maha Tinggi. Wulan yang berarti bulan merupakan symbol segala perubahan di dunia beserta seluruh kegiatan manusiawinya. Posisi bulan dalam peredarannya dipakai masyarakat Lewotoby sebagai patokan untuk memulai  atau memasuki masa/musim baru dalam hidup, seperti masa bercocok tanam, saat mencari ikan di laut, dan lain-lain. Orang Lewotoby melukiskan lera wulan itu sebagai dasar segala kenyataan hidup manusia.Paul Arndt (seperti yang dikutip oleh Withyn: 7-8) menjelaskan tentang tanah ekan itu dibentuk dari kata tana (Autronesia) dan ekan  (Sanskrit). Kedua kata itu berarti lingkungan hidup atau bumi yang merupakan ruang hidup dan tempat bekerja serta tempat tinggal manusia. Demikianlah masyarakat Lewotoby menamai Wujud Tertinggi itu dengan mengkombinasi eksistensi matahari dan bulan sebagai sesuatu yang di atas dan tanah (bumi) sebagai sesuatu yang dibawah, yang mempunyai makna  gaib dan mistis namun nyata dalam hidup manusia.

2.      Sistem mata Pencaharian (Ekonomi)
      Mata pencaharian utama penduduk Lewotoby adalah bertani atau bercocok tanam. Sistem pertanian yang biasa dilakukan adalah berladang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan kadar kesuburan lahan. Sistem berpindah-pindah dari satu lahan ke lahan lain tidak berarti bahwa mereka tidak mengenal cara pembagian tanah garapan  karena dalam kenyataan bahwa penduduk lewotoby mempunyai tanah warisan para leluhur masing-masing. Hanya saja bahwa apabila lahan itu telah digarap beberapa kali maka ditinggalkan ke lahan yang lain, dengan tujuan peningkatan penghasilan dan memberi kesempatan pada lahan yang lama untuk secara alamiah mngembalikan kesuburannya. Pada zaman dahulu, pembukaan lahan baru senantiasa dimulai dengan upacara adat/ritual tertentu, namun pada masa sekarang telah menghilang karena perubahan tingkat pendidikan masyarakatnya yang semakin tinggi.
      Petani berladang dalam masyarakat Lewotoby sangat bergantung pada curah hujan yang hanya terjadi dalam bulan Oktober-Januari. Periode ini pun amat tidak menentu karena terkadang baru dimulai pada bulan Desember sampai Mei, sesuai dengan curah hujannya. Cara menanamnya dengan system tugal. Tanaman yang biasa ditanam adalah padi, jagung, kacang serta beberapa jenis tanaman lainnya.
      Yang menarik pada saat pengerjaan lahan sampai dengan penuaiannya adalah aspek sosial-kolektifnya. Nilai kebersamaan, gotong royong dan semangat  saling membantu amat terasa. Mereka mengenalnya dengan istilah gemohin (gotong royong) atau ungkapan pai Ttite hama-hama, epu limake, taan one tou, yang bermakna ajakan  untuk bergandengan tangan dan bersatu hati untuk saling membantu dan bekerja sama.
      Disamping bertani, mereka juga memelihara sejumlah hewan (ayam, babi, anjing) yang lebih berfungsi sosial daripada ekonomis.Ternak piaraan ini dikurbankan dalam upacara adat yang bersifat sacral-religi atau dalam kegiatan sosial-kolektif.  Mata pencaharian sampingan adalah nelayan dengan system penangkapan ikan yang masih amat tradisional.
3.      Sistem Bahasa
      Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Lamaholot sebagaimana umumnya masyarakat Larantuka, sehingga kesatuan masyarakat Flores Timur  biasa disebut juga masyarakat Lamaholot . Walau demikian, tidak berarti bahwa bahasa lamaholot itu tidak memiliki perbedaan antara satu dusun dengan dusun yang lainnya, karena dalam kenyataan menunjukan bahwa ada perbedaan-perbedaan tertentu baik kata, logat atau aksen antar dusun. Tetapi umumnya masyarakat saling mengerti/memahami satu dengan yang lainnya.
      Sedangkan dalam lingkungan formal, bahasa Indonesia tetap mendapat tempat utama dalam pemakaiannya, baik dilingkungan pendidikkan, pemerintah maupun lingkungan formal lainnya.
4.      Sistem Pengetahuan
      Pengetahuan masyarakat Lewotoby zaman dahulu tetap tidak terlepas dari peredaran bulan untuk memasuki musim  baru dalam siklus hidup mereka. Hal ini tidak terlepas dari pola religi terhadap adanya bulan yang diyakini sebagai symbol perubahan di dunia. Mereka akan memasuki masa bercocok tanam atau mencari ikan di laut dengan membaca letak bulan. Demikian pula, pelaksanaan upacara  perkawinan dilakukan apabila telah selesai masa bercocok tanam  dengan pertimbangan  banyaknya hasil panenan akan mampu mengadakan suatu pesta/ritual agar mampu menjamu tamu yang hadir.
5.      Komunitas (Community)
      Secara konkret, suatu kesatuan hidup setempat itu selalu menempati suatu wilayah tertentu di muka bumi. Sistem kemasyarakatan itu merupakan kesatuan yang tidak pertama-tama ada karena ikatan kekerabatan, tetapi karena ikatan tempat kehidupan. Orang-orang yang tinggal bersama di suatu wilayah itu memiliki rasa terikat oleh perasaan bangga dan cinta pada wilayahnya dan masih saling mengenal dalam pergaulan dengan frekuensi tertentu.
      Sistem kemasyarakatan dalam masyarakat Lewotoby mengikuti administrasi pemerintahan, dengan lingkungan terkecil adalah rukun tetangga, lalu rukun keluarga dan dusun sebagai yang terluas. Saat ini, Lewotoby itu sendiri dimekarkan menjadi dua dusun yakni Lewotoby A dan B. Selain system kemasyarakatan yang mengikuti pola administrasi pemerintahan, ada  juga system adat yang mengatur pola hidup mereka, baik dalam urusan perkawinan maupun penyelesaian kasus tertentu (secara lebih detail, akan dibahas pada sistim perkawinan yang mengatur hidup perkawinan masyarakat Lewotoby, bagian lain bab ini). Sistem adat itu dikepalai oleh seorang ketua adat yang biasa bertugas memimpin pertemuan adat untuk membahas sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan atau kasus tertentu yang harus diselesaikan melalui mekanisme adat.
      Dalam system kemasyarakatan, baik pemerintahan maupun adat ini, adanya rasa saling tolong menolong yang amat besar (gotong royong), yang sering tampak dalam peristiwa kecelakaan ,bencana, ritual kematian, dan lain-lain.
6.      Sistem Kesenian
      Penduduk Lewotoby mempunyai begitu banyak jenis kesenian yang tampak dalam seni tari, seni tenun, suara dan musik, yang sekaligus mencerminkan tatanan peradabannya. Semua bisa dilihat dan dinikmati secara terpisah tetapi juga terpadu sebagai bagian integral dari berbagai ritus magis-religius. Seni tari yang menonjol adalah tarian lusilerang dan hedung (perang). Sedangkan seni suara yang dipadukan dengan alat music tradisionalnya yakni suling.
      Kegiatan tenun –menenun memiliki proses tenun yang serupa namun memiliki motive-motive yang spesifik atau garis-garis dekoratif yang khas. Motive-motive itu seperti manusia, tumbuhan, binatang, perahu, ikan dan sebagainya. Semua kesenian itu dinikmati secara terpadu apabila mereka menyambut kedatangan tamu penting yang berkunjung, baik dari pemerintahan maupun agama, atau pada saat upacara perkawinan.
7.      Sistem Kekerabatan.
      Pembahasan mengenai system kekerabatan tidak lepas dari system perkawinan yang berlaku dalam suatu masyarakat, karena untuk memahami system kekerabatan dalam suatu masyarakat, harus dimulai dengan pemahaman akan system perkawinannya. Secara detail system perkawinan masyarakat Lewotoby akan dibahas pada  bagian Bab lain.
      Kelompok kekerabatan dalam masyarakat Lewotoby merupakan gabungan dari keluarga luas yang merasa diri berasal dari satu nenek moyang, dan yang satu sama lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki (clan patrilineal). Mereka masih saling mengenal dan bergaul karena sebagian besar biasanya masih tinggal bersama dalam dusun Lewotoby walaupun tidak dalam satu rumah. Namun hal ini tidak berarti bahwa anggota clan yang berada diluar dusun lantas menjadi asing atau tak dikenal, karena ikatan darah itu amat kuat mengusai mereka.
Biasanya, ikatan kekerabatan dalam clan itu mempunyai fungsi-fungsi misalnya:
a.             Memiliki sekumpulan harta pusaka/hak milik komunal clan itu, (misalnya tanah  warisan nenek moyang, mas kawin, dan lain-lain).
b.            Melakukan usaha produktif dalam lapangan mata pencaharian hidup sebagai satu kesatuan.
c.             Gotong royong dalam melakukan aktivitas sebagai satu kesatuan.
d.            Mengatur perkawinan dengan memelihara adat  exogami.
      Ikatan kekerabatan yang paling kecil dalam masyarakat Lewotoby adalah keluaarga inti (nuclear family) yang terdiri dari bapak, ibu, anak-anak. Untuk merumuskan ikatan kekerabatan secara tegas dalam masyarakatnya adalah hal tidak mudah, karena di satu pihak keluarga inti bagi konsep masyarakat setempat bisa berarti bapak, ibu, anak-anak, kakek, nenek, atau keluarga dekat lainnya yang masih serumah dengan keluarga inti itu. Disisi lain, dusun Lewotoby itu sendiri dapat dikatakan sebagai suatu kekerabatan dalam scop yang lebih luas karena masing-masing mereka terikat akan rasa emotional  satu sama lain.
-->


selanjutnya baca : Perkawinan Adat dalam Masyarakat Lewotoby


-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar