Flores adalah sebuah pulau yang berafiliasi dengan Propinsi Nusa Tenggara
Timur. Hal ini terletak di
timur dan menjadi bagian integral dari Indonesia - sebuah negara besar dan bangsa. Hal ini dibagi pada tujuh kabupaten. Mereka kabupaten
Manggarai Timur adalah,
Manggarai Barat, Ngada, Naga Keo, Ende, Sikka dan Flores Timur. Sejarah Flores adalah masalah
yang sangat menarik seperti sejarah
Indonesia dan banyak pulau yang terpisah, Flores
namun memiliki beberapa kejutan dan disembunyikan dalam buku-buku sejarah, beberapa dari mereka hanya telah terungkap dalam
beberapa tahun terakhir. Tapi Flores memiliki beberapa bom dan okultisme dalam
buku sejarah, beberapa dari mereka hanya terdegradasi
dalam beberapa tahun
terakhir. Flores terdiri
dari enam kelompok budaya dan bahasa utama yang telah
pindah ke Flores berpikir 'dan sejarah termasuk Manggarai,
Ngada, Lio, Sikka,
Ende dan Lamaholot. Karena terdiri oleh
beberapa suku dan budaya,
mereka memiliki urutan pernikahan
oleh mereka sendiri. Perhatian dari artikel ini adalah pada urutan adat
perkawinan masyarakat Flores. Kita akan mempelajari satu per satu mulai dari yang paling timur
Kabupaten Pulau Flores, yaitu Flores Timur.
PENGANTAR
Studi
etnografi menunjukkan perkembangan yang menggairahkan. Pendekatan etnografis
dalam melihat fakta-fakta sosial budaya ataupun keagamaan suatu masyarakat yang
beragam serta yang masing-masing memperlihatkan orisinalitasnya yang khas,
jelas menginspirasikan suatu gejala baru, yakni bangkitnya “suara yang diam” ke
permukaan, setelah sekian lama mengalami marjinalisasi, keterkungkungan, tuduhan
sebagai yang “tidak beradab”, primitive dan setumpuk tudingan lain yang
mendiskreditkan. Budaya, tradisi dan kepercayaan lokal sering dipandang sebagai
entitas sosial budaya yang tidak rasional, kumuh, terbelakang dan cermin
kebodohan yang tidak memiliki visi kemajuan.
Persepsi
demikian lahir karena bias dari modernisasi. Peradaban modern yang mengklaim
diri sebagai yang ilmiah dan universal, sebenarnya memiliki watak penetrative
dalam dirinya. Universalisme adalah kebenaran yang dinilai paling rasional sehingga
perlu melakukan penyelamatan terhadap manusia dari “peradaban lumpur” itu.
Akibatnya, banyak hal dilakukan atas nama kemajuan dan modernitas justru
membenamkan manusia ke dalam kondisi ketimpangan, pengingkaran hak asasi dan
alienasi.
Sementara
itu, ketika pariwisata dianggap mampu menjawabi devisa Negara terbesar di luar
sector non-migas, berbagai elemen lantas mengemas sesuatu yang asli –dalam
wujud tradisi, budaya, keperayaan asli maupun pelbagai entitas yang dipandang
antik lainnya- untuk dikonsumsi wisatawan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika
modernitas memperlihatkan gemanya, yang asli dan luhur di atas dipandang
sebagai penghalang gerak maju. Tetapi ketika pariwisata mampu memperlihatkan
perannya, yang asli itu lantas menjadi komoditi yang layak untuk dijual.
Perhatian
tulisan ini adalah pada masalah tradisi local masyarakat Lewotoby, sebuah dusun
di kecamatan Lewotoby kabupaten Flores Timur provinsi Nusa Tenggara Timur,
Indonesia, berkenaan dengan mahar ( belis ). Pada satu pihak, mahar dipandang
mampu menjaga tata krama pergaulan dan menjamin adanya rasa saling menghormati
antara masyarakat, namun seiring waktu yang berubah, mas kawin itu dianggap
perlu untuk untuk diadakan perubahan, khususnya terhadap materi mas kawin itu
sendiri. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu persoalan selama tidak
merusak tatanan yang telah dibangun bersama.
Mas
kawin yang diberikan dalam lingkungan masyarakat Flores Timur adalah Gading
Gajah, suatu hal yang amat fenomenal, karena jika kita menoleh kebelakang maka
realita akan berbicara bahwa Flores bukan merupakan habitat spesies gajah.
Lantas akan muncul pertanyaan darimana munculnya gading tersebut? Mengapa harus
Gading gajah yang digunakan sebagai Mas Kawin? Atau, siapa yang mula-mula
memulainya sebagai mas kawin? Apa kedudukannya dalam sistem perkawinan? Dengan
melihat kenyataan bahwa Flores bukan merupakan tempat tinggal gajah, tentu akan
berakibat pada semakin punah atau menghilangnya gading tersebut. Jikalau
demikian, apakah proses perkawinan masih terjadi kalau tidak ada lagi gading
tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar