Upacara Adat Pengantaran Mas Kawin (gading gajah) |
Kabupaten Flores Timur mencakup
Flores Timur daratan (bagian paling Timur pulau Flores), pulau Solor dan pulau
Adonara. Realita ini menjadikannya sebagai sebuah kabupaten kepulauan, sehingga
sering dilukiskan sebagai “miniature Nusa Tenggara Timur”. Dengan karakter
geografis demikian, kabupaten Flores Timur mengandung sumber daya alam yang
begitu beragam berupa tapak-tapak kepurbakalaan, kesejarahan, kebudayaan, flora
dan fauna yang unik-spesifik serta kebaharian yang amat potensial.
Potret jati diri masyarakat
Lamaholot (kesatuan adat budaya Lamaholot: yang berbahasa Lamaholot) yang khas
dan spesifik itu misalnya prosesi Jumad Agung warisan Portugis di Larantuka,
harta kepubakalaan berupa situs “Nopin Jaga” di Tanjung Bunga, harta
kesejarahan berupa titisan kerajaan Larantuka atau kerajaan Lamahala, rona
budaya seperti rumah adat, perkampungan tradisional dengan berbagai situs
tradisional yang digelar secara terpadu : seni, tari dan tenun, serta di
pelataran pulau Solor dan Lewotoby yang masih membersitkan harumnya kayu
cendana dan gaharu di masa silam. Semuanya merupakan jati diri dan lensa bumi
air Flores Timur, sekaligus sebagai bagian integral dari sebuah bangsa yang
besar : Bangsa Indonesia ( Michael Beding dan Lestari Beding, 1998 ).
Untuk selanjutnya tulisan ini lebih
berfokus pada masalah kebudayaan dengan titik beratnya pada eksistensi gading
gajah dalam sistem perkawinan masyarakat Larantuka Flores Timur.
Perkawinan adat adalah hal yang
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Flores Timur. Ilmu Antropologi
mencatat bahwa hampir semua adat masyarakat memetakan hidup seorang individu ke
dalam tingkat-tingkat tertentu atau stages
along the life cycle; misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa
kanak-kanak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah nikah, masa hamil, masa
tua dan kematian. Peralihan hidup seorang individu dari satu stage ke stage berikutnya selalu
disertai upacara ritual tertentu. Hal ini karena ada anggapan bahwa saat
peralihan dari satu tingkat ke tingkat hidup berikutnya, atau dari suatu
lingkungan sosial ke lingkungan sosial lain itu merupakan saat yang gawat atau
penuh bahaya, nyata maupun gaib. Untuk menolak bahaya gaib yang mengancam hidup
individu serta lingkungannya, maka diadakan upacara waktu krisis, yang dalam
ilmu Antropologi disebut sebagai crisis-rites,
atau upacara peralihan ( rites de
passage ). Upacara-upacara itu juga mempunyai fungsi sosial yakni menyatakan
kepada khalayak ramai tingkat hidup baru yang dicapai indiviidu bersangkutan.
Gejala ini bersifat universal karena hampir terdapat di semua kebudayaan
manusia. Dari semua upacara ritual dalam kehidupan manusia itu, perkawinan
merupakan tingkatan terpenting dalam putaran hidup semua manusia di seluruh dunia
( dari tingkatan remaja ke hidup berkeluarga ) ( Koentjaraningrat 1992 : 92-93
).
Van Vollenhoeven ( seperti yang
dikutip oleh Bakker 1984 ) menunjukkan bahwa Indonesia terdiri dari 19 wilayah
hukum adat. Flores Timur merupakan satu dari ke-19 wilayah hukum adat itu.
Sementara itu, di Flores sendiri masih terdiri dari sub-sub suku bangsa yang
memiliki keanekaragaman kebudayaan dan bahasa, yakni 1) orang Manggarai, 2)
orang Riung, 3) orang Ngada, 4) orang Naga Keo, 5) orang Ende, 6) orang Lio, 7)
orang Sikka, dan 8) orang Larantuka ( Koentjaraningrat 1999 : 190 ). Karena
berdiri sebagai satu wilayah hukum adat maka masyarakat Flores mempunyai aturan
perkawinan tersendiri. Umumnya, masyarakat Nusa Bunga ( Flores ) dan Flores
Timur khususnya mengenal system perkawinan eksogami
clan dengan pola patrilineal.
Perkawinan dihayati tidak sekedar ikatan laki-laki dan wanita tapi perkawinan
antara dua clan menjadi satu keluarga. Artinya bahwa, perkawinan perkawinan
antara laki-laki dan wanita menjadi medium yang mempersatukan segenap anggota clan menjadi satu keluarga. Perkawinan
menjadi suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan wanita
tetapi juga mengikat –dalam suatu hubungan- kaum kerabat dari si laki-laki dan
si wanita. Hal ini membawa implikasi bahwa jika laki-laki clan A mengawini wanita dari clan
B maka tertutup kemungkinan bagi anggota keluarga A dan B yang lainnya
untuk saling kawin ataupun dikawini karena mereka telah menjadi satu keluarga.
Dalam hal ini, pemuda dari clan B
harus mencari anak gadis dari clan C
sebagai calon mempelainya. Oleh karena itu maka, masyarakat Flores Timur –
Larantuka mengenal system perkawinan tiga
tungku ( lika telo ): tiap-tiap clan serentak
duduk sebagai Pemberi dan Pengambil anak dara: Conubium ( Ficher 1980 : 94 ).
Sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa peralihan hidup seseorang dari satu tingkat ke
tingkat berikutnya senantiasa disertai upara ritual tertentu, demikian pula
perkawinan dalam kehidupan masyarakat Lamaholot senantiasa disertai upacara
ritual yang tidak kecil sekaligus merupakan tingkatan terpenting dalam
kehidupan masyarakat. Untuk membicarakan sebuah upacara ritual perkawinan, hal
yang paling rumit dan interesant adalah
gading sebagai belis ( mas kawin ) yang deserahkan oleh pihak laki-laki kepada
pihak wanita. Gading sebagai mas kawin dalam hal ini menjadi hak yang diterima
oleh pihak keluarga wanita sekaligus adalah kewajiban pihak lelaki. Suatu
perkawinan bahkan dinilai aib apabila tanpa (
bala ). Dari sini dapat diketahui bahwa betapa pentingnya gading sebagai
syarat demi terjadinya perkawinan dalam budaya masyarakat Flores Timur umumnya
dan Lewotoby khususnya.
Waktu berubah dan pola pikir
manusiapun turut berubah di dalamnya. Seirama dengan perubahan pola pikir
manusia itu, kebudayaanpun turut mengalami perubahan kerena keduanya tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang yang lainnya. Kehidupan manusia dalam budayanya
adalah suatu hal yang rumit dan kompleks. Di satu pihak manusia imanen di dalam
dirinya, artinya bahwa manusia hidup dan tumbuh dalam suatu lingkungan budaya
yang melingkupinya. Ia berperilaku dan bersikap berdasarkan ikatan norma dan
asas yang berlaku dalam budayanya. Sedangkan di lain sisi, dalam batas tertentu
serta dalam perjalanan kedewasaannya, manusia mampu mengekspresikan
kemanusiaannya dengan berkreasi dalam bentuk norma ataupun asas-asas baru,
mengubah dan memperbaiki tatanan yang telah ada.
Pernyataan di atas mengandung
pengertian bahwa kehidupan manusaia yang berbudaya itu menuntunnya untuk tunduk
dan patuh pada peraturan yang berlaku, sekaligus menuntutnya untuk menciptakan,
mengubah atau memperbaikinya ( transformasi
) ( Mardimin 1994 : 13 ). Menangkap gejala itu, Louis Leahy dengan bahasa
yang berbeda mengatakan bahwa manusia secara biologis belum rampung. Manusia
tidak pernah dewasa ( sempurna ) karena eksistensinya merupakan sebuah proses
pencapaian dan proses belajar tanpa akhir.
Sejalan dengan ide yang ada, Jakob
Sumardjo ( 2002 : ix ) mengatakan bahwa semua manusia menempati suatu ruang
social, waktu dan temapt tertentu, dan dari sini ia memperoleh pengetahuan
tentang apa yang berharga dan tidak berharga dalam hidupnya. Lebih lanjut,
-masih menurut Jakob- berdasarkan pengetahuan yang diperoleh itu dan bersama
manusia lainnya ia menghidupi tatanan yang ada dalam ruang sosial, waktu dan
tempat itu, sekaligus mengubah dan menolaknya karena kodratnya yang memiliki
potensi-potensi kejiwaan ( rasio, perasaan, hasrat dan kerohanian intuitif yang
bebas ).
Pola pikir masyarakat Larantuka
tidak luput dari dua kenyataan di atas. Di satu pihak mereka tunduk dan
menghidupi adat kebiasaan yang mengatur hidup mereka. Tetapi tidak bisa
diingkari bahwa pada kenyataan lain, mereka dinamis dalam kaitan dengan usaha
transformasi adat kebudayaan yang memanage pola tingkah laku mereka. Mas kawin
dalam budaya perkawinana adat masyarakat ujung timur pulau Bunga ( Flores Timur
) tidak luput dari arus perubahan karena pola pikir manusia pendukungnya
berubah dalam waktu yang berubah.
Berdasarkan latar belakang di atas
maka kami mengangkatnya dala tulisan ini dengan judul Eksistensi Gading Gajah sebagai Mas Kawin dalam Sistem Perkawinan
Masyarakat Larantuka Flores Timur.
selanjutnya baca : Teori
selanjutnya baca : Teori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar